Sindhunata, Menghidupi Literasi dari Arwah Jurnalisme- Selama hampir separuh era meniti jalur hidup selaku wartawan, Sindhunata.
Sepanjang hampir separuh era meniti jalur hidup selaku wartawan, Sindhunata sudah jadi suar literasi. Dari kencana69 tiap jengkal pergulatan pandangan serta penjelajahan linguistiknya, ribuan buatan catat dalam bermacam bentuk ataupun tema terlahir memberi warna khazanah literasi bangsa. Julukan lengkapnya, Gabriel Possenti Sindhunata SJ. Jadi reporter Setiap hari Kompas semenjak 1977, Sindhunata beralih bentuk jadi pengarang, artis, serta cendikiawan. Tetapi, literasi yang jadi alas Sindhunata dalam berkreasi menjelajahi beraneka ragam tema penyusunan: seni, adat, metafisika, sosial, politik, ekonomi, sepak bola, sampai kisah- kisah humanis mengenai peperangan hidup“ wong kecil”.
Di tengah hiruk- pikuk digitalisasi serta perpindahan atensi baca warga, julukan Sindhunata senantiasa bercahaya selaku wujud yang konsisten menghidupi literasi dari arwah jurnalistik. Figur yang diketahui selaku reporter, cendikiawan, rohaniwan, sekalian ahli sastra ini sudah lama mengabdikan hidupnya pada bumi tulis- menulis yang tidak cuma informatif, namun pula mencerahkan batin khalayak.
Lahir di Batu, Apes, Jawa Timur pada 12 Maret 1952, Sindhunata ialah bentuk sangat jarang yang sanggup mencampurkan intensitas jurnalistik dengan daya metafisika serta pemahaman adat. Di golongan reporter serta akademisi, beliau dikenang selaku pemikir runcing yang menulis dengan batin, bukan semata- mata mengejar kehebohan.
Bawa Nafas Rohani dalam Buatan Tulis
Karakteristik catatan Sindhunata terdapat pada kemampuannya mengalirkan spiritualitas serta humanisme ke dalam bahasa yang gampang di cerna. Beliau tidak sempat menaruh catatan selaku perlengkapan agitasi, melainkan selaku jembatan perbincangan antara angka serta realitas. Seperti itu penyebabnya, banyak tulisan- tulisannya terasa hidup serta memegang, semacam dalam rubrik mingguan Banyolan Puitika yang beliau membimbing di setiap hari Kompas sepanjang puluhan tahun.
“ Menulis bukan cuma pertanyaan metode serta informasi, tetapi pula pertanyaan cinta serta pendalaman,” kata Sindhunata dalam suatu dialog literasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dini Juni kemudian. Di hadapan ratusan mahasiswa serta dosen, beliau menekankan kalau literasi asli berkembang dari daya rasa serta sensibilitas kepada sesama orang.
Dalam tulisan- tulisannya, paling utama artikel serta pandangan, beliau sering menggali makna- makna tersembunyi dari peristiwa- peristiwa setiap hari. Misalnya, dari semata- mata cerita anak kecil yang kehabisan layangan, beliau dapat bawa pembaca merenungi kehabisan arti hidup dalam warga modern.
Dari Seminari ke Bumi Jurnalistik
Sindhunata mengenyam pembelajaran metafisika serta dogma di Seminari Besar Ledalero, Flores, serta meneruskan riset di Jerman buat memperdalam pandangan metafisika serta dogma. Walaupun mempunyai kerangka balik religius yang kokoh, beliau tidak mengurung diri dalam tembok gereja. Kebalikannya, beliau malah menjelajahi ruang khalayak lewat tulisan- tulisannya yang memegang rumor sosial, politik, kultur, serta manusiawi.
Karir jurnalistiknya mulai diketahui besar dikala berasosiasi dengan Kompas pada akhir 1970- an. Beliau bukan semata- mata pengarang informasi, namun pula pencerita yang menghidupkan informasi jadi refleksi. Dalam masa- masa susah Sistem Terkini, tulisannya yang bernas jadi sejenis penghibur sekalian penggugah pemahaman warga.
Beliau pula jadi penjaga rubrik kultur serta kerap menulis mengenai sepak bola, pertanian, kekurangan, dan dilema pembelajaran di daerah- daerah ceruk. Dalam tiap poin, beliau menancapkan pemahaman kalau di balik informasi serta kenyataan, terdapat orang yang bernapas, berambisi, serta berarti.
Meningkatkan Publikasi Alternatif
Tidak menyudahi di alat mainstream, Sindhunata ikut mendirikan Majalah Dasar, suatu alat intelektual yang jadi ruang dialog para pemikir rute agama serta kerangka balik. Majalah ini, yang berumur lebih dari 70 tahun, jadi saksi kedudukan Sindhunata dalam melindungi kedaulatan serta intelektualitas dalam bumi publikasi.
Beliau pula aktif dalam Yayasan Ledalero serta bermacam forum kultur yang mendesak literasi kritis. Dalam beraneka peluang, beliau menyuarakan berartinya jurnalistik yang bersumber pada batin, bukan semata- mata kecekatan ataupun klikbait.
“ Alat bisa berganti wujud, tetapi jurnalistik yang bagus wajib senantiasa menjunjung etika serta bukti,” tuturnya dalam kolokium nasional di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sebagian durasi kemudian.
Kesusastraan serta Refleksi Manusia
Tidak hanya di aspek jurnalistik, Sindhunata pula diketahui melalui buatan kesusastraan. Roman terkenalnya semacam Anak Bajang Menggiring Angin serta Gadis Tiongkok bukan cuma fantasi semata, tetapi pengertian atas adat, asal usul, serta bukti diri bangsa.
Beliau memakai pendekatan mitologi serta metafisika buat mengajak pembaca merenungi balik siapa dirinya, dari mana asalnya, serta buat apa hidupnya. Style menulisnya yang puitis serta kontemplatif membuat ciptaannya disukai rute angkatan.
Tidak tidak sering, beliau mencampurkan tokoh- tokoh pewayangan ataupun narasi orang dengan isu- isu modern. Dalam perihal ini, beliau beriktikad kalau kesusastraan dapat jadi jembatan antara era kemudian serta era saat ini, dan jadi kaca buat memandang era depan.
Menghidupi Literasi Selaku Jalur Hidup
Sindhunata bukan cuma menulis, namun hidup dari serta buat literasi. Dalam umur yang tidak lagi belia, beliau senantiasa aktif menulis, mendatangi dialog, serta membagikan khotbah kultur di bermacam kota. Beliau pula membuka pintu untuk angkatan belia buat berlatih menulis, membaca, serta berasumsi kritis.
“ Aku tidak memiliki kewenangan, tidak memiliki modal besar. Tetapi aku memiliki tutur. Serta tutur itu, jika dipakai dengan batin, dapat memegang serta mengganti bumi,” ucapnya lembut dalam suatu tanya jawab.
Di tengah era yang terus menjadi praktis serta cetek, bentuk semacam Sindhunata jadi pengingat kalau literasi bukan semata- mata pertanyaan baca catat, melainkan metode menguasai kehidupan dengan lebih dalam serta kemanusiaan.
Saat ini, dengan intensitas serta integritas yang tidak berubah- ubah, Sindhunata sudah jadi menara api di tengah gelombang kencang data. Beliau membuktikan kalau jurnalistik asli bukan cuma pertanyaan informasi, tetapi mengenai menyuarakan nilai- nilai manusiawi dengan metode yang jujur, ikhlas, serta berarti.