Perang Jawa dan Keadilan
Perang Jawa serta Keadilan – Kepemimpinan, kegagahan, Diponegoro dalam Perang Jawa menginspirasi revolusi serta perang kebebasan Indonesia.
Peter Carey membuat orang terkenang pada Pangeran Diponegoro, atasan Perang Jawa( 1825- 1830).
Peter membaktikan hidupnya buat menulis mengenai Diponegoro. Bukunya, Daya Khianat; Pangeran Diponegoro serta Akhir Aturan Lama di Jawa, 1785- 1855( 2012), merupakan adikarya asal usul bumi mengenai Perang Jawa, gali77
traumatik untuk orang Jawa serta kolonial Belanda.
Kepemimpinan, kegagahan, serta kekuatan Diponegoro dalam Perang Jawa menginspirasi revolusi serta perang kebebasan Indonesia.
Pada Maret 1973, ahli sejarah Taufik Abdullah, periset LIPI, mempertemukan Peter dengan Margono Djojohadikusumo, penggagas Bank Negeri Indonesia.
Margono tengah menulis memoar mengenai leluhurnya, Raden Tumenggung Kartanegara IV ataupun Banyak Wide, komandan perang Diponegoro yang loyal serta dibuang sepanjang 18 tahun ke Ternate bersama keluarganya.
” Meski riset aku di ANRI serta MSS Jawa di Yogyakarta amat dini mengenai Diponegoro warnanya menarik menurutnya. Aku memberi apa yang aku bisa alhasil ia dapat memakainya buat memoar yang beberapa sedang belum berakhir pada dikala ia tewas di Juli 1978,” tutur Peter pada aku.
Peter menjalakan ikatan bagus dengan para ahli sejarah Indonesia. Tetapi, ciptaannya diplagiat oleh segerombol orang per orang ahli sejarah.
Sesuatu hari di bulan Desember 2019, Peter dihubungi seseorang kawan yang bertanya apakah ia telah membaca novel Madiun serta Raden Rangga Prawiradirja III, yang ditulis Sri Margana serta teman- temannya. Persoalan itu mendesak Peter membaca masing- masing laman dengan cermat. Betul saja, ia menciptakan keganjilan. 2 novel itu menjiplak bukunya, Daya Khianat!
Pada 7 Februari 2020, Daftar pustaka Terkenal Gramedia( KPG) berlaku seperti pencetak Daya Khianat menyediakan pertemuan para pihak. Peter bersama 2 pengacaranya, pihak KPG, pihak FIB UGM diwakili 2 dosen, Setiadi serta Wening Udasmoro, serta pihak Yayasan Arsari Djojohadikusumo berjumpa di kantor Palmerah, Jakarta. Kala fakta jiplakan disaksikan para pihak, pihak FIB UGM melaporkan 2 novel itu sedang berkedudukan dummy.
Kenyataannya, kedua novel mempunyai ISBN ataupun no pengenalan novel yang diterbitkan. ISBN novel Madiun merupakan 978- 602- 50537- 0- 2, sebaliknya ISBN Raden Rangga merupakan 978- 602- 50537- 0- 2.
Novel Madiun telah 2 kali dicetak( edisi awal, September 2017; edisi kedua, Juni 2018). Raden Rangga dicetak pada Oktober 2018.
Tidak berapa lama, novel Madiun edisi ketiga serta novel Raden Rangga edisi kedua keluar. Tetapi, anehnya, tahun keluar buku- buku itu terbuat mundur. Novel Madiun edisi ketiga terbuat keluar Desember 2018.
Novel Raden Rangga edisi kedua terbuat keluar Februari 2019.
Telah lama lalu insiden yang menimbulkan pertemuan Februari 2020 di KPG. Kenapa tidak membiarkannya sedemikian itu saja?
Sebab aku ingat catatan pembimbing aku Merle Ricklefs, sepekan saat sebelum ia tewas. Janganlah membiarkan permasalahan penjiplakan ini lalu, namun wajib mengutip tindakan,” tutur Peter, dalam pertemuan kita pada 10 Januari 2025. Ia menampilkan pada aku novel Madiun edisi kedua serta Raden Rangga edisi awal. Terdapat coretan- coretan serta isyarat pada halaman- halamannya.
Christina Meter Udiani yang menggantikan KPG menampilkan pada aku memo bermuatan poin- poin rinci yang terbuat Peter atas novel Madiun edisi kedua( Juni 2018) serta novel Raden Rangga Prawiradirja III, Bupati Madiun, 1796- 1811 edisi awal( Oktober 2018).
KPG setelah itu membubuhkan penjelasan pada memo itu apa saja poin- poin Peter yang diaplikasikan dalam Madiun edisi ketiga serta Raden Rangga edisi kedua. Ayat 5 Madiun ditulis balik. Tidak terdapat lagi faktor jiplakan pada Ayat 2, 3, 4, 5, serta 6 dalam Raden Rangga. Novel Madiun edisi ketiga serta Raden Rangga edisi kedua seperti itu yang ditilik oleh Regu Angkatan darat(AD) Hoc FIB UGM, kemudian melaporkan tidak terdapat faktor jiplakan.
Sri Margana sempat menggegerkan Indonesia. Ia menulis dokumen akademik yang dijadikan alas Ketetapan Kepala negara( Keppres) No 2 Tahun 2022
mengenai Hari Penguatan Independensi Negeri. Serbuan Biasa 1 Maret 1949 diperingati selaku Hari Penguatan Independensi Negeri. Hasilnya merupakan penjelasan sah mengenai insiden Serbuan Biasa 1 Maret 1949 yang dilansir di web sah Kepaniteraan Dewan menteri Republik Indonesia
Serbuan Biasa I Maret 1949 yang dipelopori oleh Sri Baginda Hamengku Buwono IX serta diperintahkan oleh Komandan Besar Jenderal Soedirman dan disetujui serta digerakkan oleh Kepala negara Soekarno serta Delegasi Kepala negara Mohammad Hatta….”
Kenyataannya, bukan Sri Baginda Hamengku Buwono IX yang menggagas Serbuan Biasa 1 Maret 1949 serta bukan Komandan Besar Jenderal Soedirman yang menginstruksikan serbuan itu. Ahli sejarah Anhar Menyalak melaporkan, bersumber pada akta yang terverifikasi, penggagas serta donatur perintah Serbuan Biasa 1 Maret 1949 merupakan Komandan Bagian III atau Gubernur Tentara III Kolonel Bambang Sugeng.
Dalam film di saluran Youtube- nya pada 18 Maret 2021, Anhar Menyalak melaporkan kalau Soeharto jadi eksekutif perintah itu selaku panglima alun- alun.” Apalagi, aku ingin berkata kalau Soeharto memiliki andil besar kala serbuan itu dicoba,” tuturnya. Kepala negara RI harus merevisi Keppres No 2 Tahun 2022.
Penguasa Kabupaten Madiun mengucurkan anggaran Rp 775 juta buat penyusunan novel Madiun serta Raden Rangga. Peter tidak berkenan Republik Indonesia dibebani sebab mendanai publikasi novel hasil jiplakan. Dalam film tanya jawab dengan Sri Margana yang diunggah di saluran Youtube- nya pada 26 Desember 2024, Rhenald Kasali bertanya pada siapa cetak biru 2 novel ini diserahkan Penguasa Kabupaten Madiun.
Margana menanggapi,
” Pada UGM. Jadi, seluruh anggaran itu pula ditransfer ke UGM, terkini diserahkan pada kita. Pada faktanya, kita memperoleh Rp 390 juta.
Nyaris 2 era sudah lalu semenjak bedil pekatu terakhir diledakkan di tanah Jawa, tetapi dengung dari Perang Jawa( 1825–1830) sedang bergaung dalam ruang- ruang dialog kesamarataan sosial serta asal usul Indonesia modern. Dipandu oleh Pangeran Diponegoro, perang ini jadi ikon perlawanan terbanyak kepada penjajahan Belanda di Nusantara. Tetapi lebih dari semata- mata perang raga, insiden ini pula jadi representasi peperangan akhlak kepada ketidakadilan yang sistemik.
Api Perlawanan dari Tanah Mataram
Perang Jawa, yang diketahui dalam pangkal Belanda selaku De Java Oorlog, ialah bentrokan bernilai besar yang mengaitkan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya melawan penguasa kolonial Hindia Belanda. Perang ini meletus di area Yogyakarta pada tahun 1825, dipicu oleh ketidakpuasan orang kepada aduk tangan Belanda dalam hal dalam Kerajaan, dan beban orang dampak pajak yang besar serta perebutan tanah.
Pangeran Diponegoro, generasi adiwangsa Kerajaan Yogyakarta, merasa kalau martabat, tanah kakek moyang, serta nilai- nilai agama Islam sudah dinodai oleh kolonialisme. Kala Belanda akan membuat jalur melampaui kuburan leluhurnya tanpa permisi, Pangeran Diponegoro melaporkan perlawanan terbuka. Inilah dini dari bentrokan berdarah yang hendak berjalan sepanjang 5 tahun, membunuh lebih dari 200. 000 orang, beberapa besar merupakan masyarakat awam.
Strategi Gerilya serta Antusias Rakyat
Berlainan dengan perlawanan lebih dahulu yang sporadis, Perang Jawa diisyarati dengan strategi gerilya yang efisien serta sokongan besar dari orang jelata, malim, dan prajurit konvensional. Diponegoro tidak cuma dihormati selaku atasan politik, namun pula selaku figur kebatinan yang bawa tujuan kesamarataan serta pengamanan akhlak dari kolonialisme.
“ Perang ini bukan cuma mengenai tanah, tetapi mengenai derajat. Mengenai gimana kewenangan asing memijak- memijak nilai- nilai lokal serta agama,” ucap ahli sejarah Universitas Gadjah Mada, Dokter. R. Surya Atmaja, dalam tanya jawab dengan sidang pengarang.
Tetapi, kelebihan teknologi serta siasat tentara Belanda pada kesimpulannya sanggup mengepung gerombolan Diponegoro. Pada tahun 1830, lewat siasat tipu, Diponegoro dibekuk dikala melaksanakan negosiasi rukun di Magelang. Beliau setelah itu diasingkan ke Makassar, tempat beliau meninggal pada tahun 1855.
Kesamarataan yang Tidak Sempat Selesai
Perang Jawa sudah selesai lebih dari satu era dahulu, tetapi peninggalan ketidakadilan yang mengakibatkan perang itu sedang jadi refleksi berarti untuk bangsa Indonesia. Tanah- tanah yang dirampas kolonial sedang mencadangkan bentrokan agraria sampai saat ini. Para orang tani kecil serta warga adat di bermacam wilayah kerap kali mengalami penggusuran untuk cetak biru pembangunan, dengan akal sehat yang tidak jauh berlainan dari kolonialisme tempo dahulu.
“ Jika kita amati akar dari Perang Jawa, itu merupakan perang melawan kesenjangan. Hari ini, kesenjangan itu sedang terdapat dalam wujud terkini,” tutur penggerak agraria dari Asosiasi Pembaruan Agraria( KPA), Nurul Kurniasih.
Pangeran Diponegoro sendiri diabadikan selaku Bahadur Nasional. Namanya menghiasi jalan- jalan besar, universitas, sampai museum. Tetapi beberapa golongan memperhitungkan hidmat simbolik saja tidak lumayan. Mereka menuntut pendekatan yang lebih kata benda kepada arti perjuangannya, ialah kesamarataan sosial untuk semua orang Indonesia.
Peninggalan Adat serta Pemahaman Sejarah
Perang Jawa pula meninggalkan jejak yang dalam dalam kultur Jawa. Cerita peperangan Diponegoro dinaikan dalam boneka, buku- buku asal usul, sampai buatan seni muka. Ilustrator legendaris Raden Alim apalagi melukis penahanan Pangeran Diponegoro dalam buatan ikoniknya tahun 1857 yang saat ini ditaruh di Rijksmuseum, Amsterdam.
Tetapi, deskripsi asal usul kolonial sedang memimpin banyak akta serta memo sah.“ Kita wajib meregang balik deskripsi asal usul dari ujung penglihatan korban, bukan kolonialis. Perang Jawa bukan semata- mata memo kegagalan, melainkan kebangkitan pemahaman nasional,” jelas cendikiawan Yogyakarta, Dwi Santosa.
Saat ini, terus menjadi banyak angkatan belia yang terpikat buat menggali balik asal usul ini dengan pendekatan yang kritis. Komunitas asal usul, kreator film dokumenter, serta pengarang fantasi mulai mengangkut kisah- kisah dari ujung penglihatan orang kecil yang terdampak perang.
Mengarah Kesamarataan Historis
Dalam kondisi Indonesia modern, memaknai Perang Jawa bukan cuma pertanyaan mengenang era kemudian, namun pula menelaah gimana negeri ini menganggap warganya hari ini. Kesamarataan historis jadi berarti supaya asal usul tidak cuma jadi peringatan, namun pula pelajaran.
Penguasa sudah melaksanakan sebagian tahap restoratif, semacam rehabilitasi situs- situs peperangan Diponegoro serta digitalisasi arsip asal usul. Tetapi, penyembuhan yang lebih besar dibutuhkan—yakni dalam wujud pengakuan kepada hak- hak orang atas tanah, adat, serta kesamarataan hukum yang asli.
Bila kita mau meluhurkan Pangeran Diponegoro, hingga hormatilah antusiasnya: berdiri buat orang teraniaya. Itu berarti kebijaksanaan hari ini wajib membela pada yang lemas, bukan yang kokoh,” ucap Nurul menutup pernyataannya.
Penutup
Perang Jawa bukan cuma mengenai senjata serta darah. Beliau merupakan ikon dari peperangan jauh melawan ketidakadilan serta aniaya. Dalam warga yang lalu bergulat dengan kesenjangan, mengenang Perang Jawa merupakan mengenang kalau kesamarataan tidaklah hadiah, melainkan hak yang wajib diperjuangkan.
Post Comment