Arena Perang di Manggarai yang Tidak Menyambangi Miring
Manggarai, Nusa Tenggara Timur – Suara gong dipukul bertalu- talu. Asap cendana berjoget – joget di hawa. Di tengah bundaran batu 2 laki- laki
Pemirsa berteriak- teriak, menanti dimulainya” Bentak”, adat- istiadat perang adat khas warga Manggarai yang sampai saat ini sedang dipertahankan selaku ikon martabat, kejantanan, serta perkerabatan.
Arena Perang ataupun dalam sebutan lokal diketahui selaku Bentak— bukan semata- mata pementasan adat. Beliau merupakan bagian dari impian789 peninggalan tidak barang yang hidup serta bernapas bersama warga Manggarai, suatu kabupaten di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Adat- istiadat ini bukan semata- mata beradu antara 2 orang, melainkan pula bayangan nilai- nilai sosial, kebatinan, serta historis dari kaum Manggarai yang sudah diwariskan dengan cara bebuyutan sepanjang beratus- ratus tahun.
Asal- Usul serta Arti Simbolik
Dalam bahasa Manggarai, Bentak ialah akronim dari tutur ca yang berarti satu serta ci yang berarti percobaan. Dengan cara literal, Bentak berarti” satu pertempuran” ataupun” satu tes”, yang melukiskan pertarungan satu rival satu yang diadakan dalam ritual khusus. Adat- istiadat ini umumnya diselenggarakan dalam kegiatan syukuran panen, acara adat, sampai penyambutan pengunjung berarti. Salah satu momentum besar yang jadi pentas penting Bentak merupakan dalam ritual Penti, ialah keramaian akhir tahun pertanian warga adat Manggarai.
Ini bukan mengenai silih menyakiti. Tetapi mengenai martabat, kegagahan, serta pula dedikasi kepada kakek moyang,” tutur Markus Larut, seseorang datuk adat dari Dusun Todo, salah satu dusun adat tertua di Manggarai.” Lewat Bentak, kita meluhurkan tanah, alam, serta para pelopor yang sudah melindungi keseimbangan kehidupan.”
Arena Perang: Pementasan Sekalian Ritualitas
Dalam penerapannya, 2 petarung berdiri di tengah arena berupa bundaran yang sudah disucikan. Mereka menggunakan busana adat bercorak mencolok—merah, gelap, serta putih—yang menandakan daya, kegagahan, serta kesakralan. Pecut yang dipakai diucap banjar, umumnya dibuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Sedangkan perisai ataupun menggelek dibuat dari rotan tebal yang kokoh menahan bogem mentah.
Pertarungan dicoba dalam sebagian sesi, di mana satu partisipan melanda serta yang lain bertahan. Para bedaya bentak diiringi oleh nada konvensional semacam gong, rebana, serta seruling bambu, yang memompa antusias serta menghasilkan suasana keramat dalam arena.
Menariknya, bila seseorang petarung terserang pecut serta hadapi cedera, bukan amarah yang timbul, melainkan kebesarhatian. Cedera dikira selaku ikon kegagahan serta martabat keluarga. Apalagi, partisipan yang terserang bogem mentah berkuasa mengajukan pertarungan balik selaku wujud pembuktian kegagahan.
Kedudukan Sosial serta Kultural
Adat- istiadat Arena Perang ini mempunyai kedudukan berarti dalam bentuk sosial warga Manggarai. Beliau tidak cuma jadi ruang mimik muka maskulinitas, namun pula alat memperkuat ikatan antar- kampung. Kerapkali, pertarungan Bentak mengaitkan desa pengunjung serta desa tuan rumah dalam satu keramaian besar, menghasilkan ikatan timbal balik serta jaringan kebersamaan antarmasyarakat.
Adat- istiadat ini jadi alat kebijaksanaan konvensional,” ucap Fransiskus Bata, cendikiawan lokal.” Melalui Bentak, 2 desa dapat silih menyambangi serta membuat jalinan sosial yang lebih dalam. Terdapat makan bersama, beralih hasil alam, serta berbahas adat.”
Tetapi lebih dari itu, Bentak pula jadi ikon bukti diri warga Manggarai. Di tengah arus kesejagatan serta urbanisasi, menjaga adat- istiadat semacam ini jadi wujud perlawanan kepada homogenisasi adat yang bertambah menyeluruh.
Usaha Pelanggengan serta Tantangan
Bersamaan durasi, tantangan kepada keberlangsungan Arena Perang terus menjadi lingkungan. Angkatan belia mulai kehabisan atensi kepada adat- istiadat yang dikira kuno serta penuh resiko raga. Sebagian pihak pula mempersoalkan faktor kekerasan dalam pertarungan, walaupun telah disampul dalam kondisi ritual.
Buat itu, beberapa usaha pelanggengan dicoba oleh penguasa wilayah serta komunitas adat. Penguasa Kabupaten Manggarai saat ini teratur mengadakan Pergelaran Bentak selaku bagian dari advertensi pariwisata adat. Tidak cuma itu, pembelajaran adat lokal mulai diintegrasikan dalam kurikulum sekolah bawah di area itu.
Kita berupaya memegang angkatan belia melalui pendekatan modern,” tutur Yohana Man, kepala Biro Kultur Manggarai. Kita membujuk mereka membuat dokumenter, pementasan seni, serta pertandingan dampingi sekolah. Tujuannya, biar mereka besar hati dengan peninggalan kakek moyang mereka.”
Tetapi, terdapat pula kebingungan kalau komersialisasi adat bisa menggerus nilai- nilai keramat dari Bentak. Pementasan yang diselenggarakan semata buat wisatawan sering kehabisan faktor kebatinan, menjadikannya semata- mata atraksi serta bukan bagian dari ritual yang berarti.
Jika Bentak cuma jadi pementasan darmawisata, lambat- laun ia hendak kehabisan rohnya,” tutur Romo Bernadus Nelo, seseorang antropolog lokal.” Kita wajib membenarkan kalau pangkal adat serta arti filosofisnya senantiasa dilindungi.”
Peninggalan yang Lalu Bertahan
Di tengah serangan era, adat- istiadat Arena Perang di Manggarai senantiasa berdiri berdiri. Beliau bukan semata- mata artefak adat, melainkan deskripsi hidup mengenai gimana sesuatu warga menghormati asal usul, melindungi bukti diri, serta membuat era depan melalui pangkal tradisinya sendiri.
Dari tiap pecut yang diayunkan sampai sorakan yang menggema di antara lereng busut Manggarai, Bentak lalu berbicara— menunjukkan kalau adat tidak mati, sepanjang sedang terdapat yang merayakannya.
Dalam rekaman yang diunggah di alat sosial, nampak tawuran antar- dua golongan masyarakat di Gorong- gorong Manggarai. Mereka silih serbu dengan melemparkan batu, botol, sampai mercon.
Walaupun tidak terdapat korban cedera ataupun korban jiwa dalam insiden ini, tawuran itu membuat kemudian rute di dekat posisi tersendat dekat 30 menit. Para pelakon tawuran terkini bubar sehabis aparat dari Kepolisian Zona Tebet tiba buat membubarkan massa yang bentrok.
Kepala Bagian Reserse Pidana Polsek Tebet Ajun Komisaris Suwarno, Pekan( 4 atau 5), mengatakan, sehabis memperoleh berita pertanyaan tawuran di Gorong- gorong Manggarai, grupnya memobilisasi badan ke posisi.
Setiba di posisi, aparat langsung membubarkan massa. Aparat kemudian berhati- hati buat membenarkan tawuran tidak bersinambung. Badan( kepolisian) luang standby di situ hingga suasana nyaman,” tuturnya.
Pada Pekan( 4 atau 5) dekat jam 20. 00 Wib, suasana di posisi tawuran telah mendukung serta arus kemudian rute mudah balik walaupun sedang nampak bagian botol cermin, batu, sampai mercon yang berserak.
Kepala Subbagian Humas Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Murodih, Senin( 5 atau 5 atau 2024), merinci, tawuran di Gorong- gorong Manggarai terjalin jam 19. 30 Wib serta terkini dikenal jam 20. 30 Wib. Dari penjelasan para saksi, tawuran ini mengaitkan 2 golongan masyarakat, ialah masyarakat dari RW 012 serta RW 04. Saksi mengatakan, terdapat acuman yang membuat masyarakat terhasut, kemudian terjadilah tawuran.
Dampak tawuran itu, satu orang terluka sebab dibacok di bagian kepala. Beliau dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Bagi Murodih, tawuran di Manggarai telah lazim terjalin.” Dari dahulu tidak kelar- kelar,” tuturnya.
Beliau berambisi masyarakat menguasai ancaman tawuran.” Tawuran tidak terdapat khasiatnya serupa sekali serta cuma memunculkan korban,” tuturnya. Kebalikannya, kegiatan warga yang melalui jadi tersendat.
Murodih memohon tiap pimpinan area buat tidak jemu menegaskan warganya buat tidak berkonflik serta mengakibatkan ketegangan. Butuh terdapat koordinasi antarwarga supaya tawuran tidak lalu terulang,” tuturnya.
Tawuran di area Manggarai bukan kali ini terjalin. Pada 19 Oktober 2023, misalnya, tawuran antarkelompok masyarakat rusak di posisi itu. Faktornya diprediksi sebab bentrokan antarwarga dalam ekspo yang diselenggarakan oleh karang aspiran setempat.
Tawuran di Manggarai pula terjalin pada 4 September 2019 serta luang membuat ekspedisi sepur jalan kereta api listrik( KRL) tersendat di Stasiun Manggarai serta membuat ekspedisi sepur api tertahan.
Polisi membubarkan tawuran itu. Massa dibubarkan dengan memakai gas air mata. Dikala itu, PT Sepur Commuter Indonesia( KCI) mengatakan, ekspedisi KRL commuter line tertahan semenjak jam 16. 39 sampai jam 17. 24 Wib dampak tawuran masyarakat. Penumpang sepur menumpuk dampak peristiwa itu.
Dikala tawuran berjalan, terdapat susunan sepur yang terdesak menyudahi dekat posisi tawuran. KRL terserang lontaran barang asing di bagian power supply compressor yang bertegangan besar alhasil memunculkan recikan api.
Setiap hari Kompas menulis, tawuran di Manggarai pula terjalin pada 25 Juni 1971. Dalam beberapa tawuran di Manggarai, korban cedera lalu berguguran. Pada 28 September 1998, Kompas menulis terdapatnya korban jiwa dampak tawuran antarwarga. Kala itu, seseorang karyawan kebersihan pada Unit Pertahanan serta Keamanan, Sutrisno( 41), berpulang diterjang timah panas senapan angin.
Bagi penjelasan istri korban, Nuraini, suaminya terkini saja kembali dari tempat kegiatan. Dikala itu korban berjalan kaki mengarah rumahnya di Jalur Pegangsaan. Tetapi, Sutrisno terperangkap dalam” arena perang” batu antarwarga di dekat stasiun sepur api Manggarai.
Dikala seperti itu seketika terdengar dentuman senapan angin. Sutrisno juga berteriak sembari memegangi dadanya. Tidak lama setelah itu, korban tumbang sembari memegangi dadanya yang menghasilkan darah. Warnanya, timah panas menerpa papa 3 putra itu.
Dalam harian bertajuk” Kajian Filosofi Kriminologi Kultural kepada Pemaknaan Tawuran: Riset Permasalahan Tawuran di Area Manggarai, Jakarta Selatan” disimpulkan kalau tawuran di area itu sudah menempel pada kehidupan warga setempat. Tawuran apalagi diucap sudah jadi suatu adat- istiadat bebuyutan antargenerasi di area itu.
Si pengarang, Bagian Renia Alviani serta Yani Osmawati dari Program Riset Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial serta Ilmu Politik, Universitas Budi Terhormat, mengatakan, pelakon tawuran di Manggarai memperhitungkan tawuran selaku adat- istiadat yang dilandasi oleh tingginya rasa kebersamaan dalam komunitas warga setempat.
Pengarang merumuskan tawuran di area Manggarai ialah subkultur kekerasan yang berkembang serta bertumbuh di area itu. Tawuran ialah aktivitas yang kerap kali ditatap selaku perihal yang alami bagi warga Manggarai.
Pemakaian kekerasan, senjata runcing, apalagi sering mengganggu sarana biasa jadi perihal yang biasa kala tawuran berjalan. Dalam kriminologi, tawuran pula diucap dengan sebutan kekerasan beramai- ramai.
Para pelakon tawuran sering berkonflik sebab silih serbu, semacam pelemparan batu ke perkampungan masyarakat, kesalahpahaman masyarakat, dan kelakuan buat membuktikan keberadaan diri.
Para pelakon tawuran tidak cuma berawal dari area Manggarai, namun pula dari area di sekelilingnya, ialah Menteng Tenggulun serta Pasar Rumput, yang diketahui selaku kompetitor turun- temurun Manggarai.
Tawuran tidak sempat berakhir sebab dilandasi oleh kelakuan menanggapi marah antarkampung. Kebersamaan yang besar membuat warga setempat dengan cara beramai- ramai ikut membela desa mereka dengan bermacam metode, salah satunya dengan tawuran.
Para orangtua juga tidak mencegah buah hatinya turut tawuran sebab dikira selaku kelakuan membela desa. Apalagi, para orangtua serta berusia di desa dekat mau membagikan donasi beramai- ramai buat bayaran pengobatan anak yang jadi korban tawuran.
Keberadaan diri
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, memperhitungkan, tawuran seolah telah jadi peninggalan yang diturunkan dari tua pada yuniornya. Apalagi, golongan tawuran umumnya pula tercipta lewat kelompok motor.
Devie memperhitungkan, pemicu sedang suburnya tawuran merupakan tidak bebas dari sedang banyaknya anak yang mau membuktikan keberadaan, namun dengan metode yang salah. Apalagi, dalam sebagian permasalahan, sedang banyak anak belia yang turut tawuran sekalian menyebarkannya lewat alat sosial.” Tujuannya, supaya kegagahan serta kekokohannya itu tersiar lebih besar,” tuturnya.
Ia beranggapan, anak belia berpotensi buat melahirkan aksi kekerasan. Perihal itu sebab di umur itu mereka sedang berperan bersumber pada marah.
Sebab alibi inilah, Devie menyangka tawuran yang terjalin di Jakarta mempunyai corak berlainan. Jika tawuran antarwarga diakibatkan oleh keinginan ekonomi, hingga tawuran siswa merupakan buat membuktikan keberadaan.” Sebab itu, penanggulangannya tentu berlainan,” tuturnya.
Apa juga sebabnya, tawuran menimbulkan kehilangan serta mengusik keamanan area. Suasana ini bisa menimbulkan atmosfer kota terus menjadi tidak mendukung. Mitigasi kilat serta pas dari petugas penguasa serta masyarakat amat dibutuhkan supaya tawuran bisa lekas mati.
Post Comment