Putusan Enteng Pemerkosa serta Adat Hukum yang Tidak Berpihak Korban
Putusan Enteng Pemerkosa serta Adat Hukum yang Tidak Berpihak Korban – Vonis enteng serta adat rukun sedang membayangi permasalahan pemerkosaan.
terdakwa pelakon pemerkosaan di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, Priguna Anugrah Pratama, rawan ganjaran 17 tahun bui, gali77 semacam terbongkar dalam pengecekan oleh kepolisian, Jumat( 11 atau 4 atau 2025).
Polisi memikirkan Artikel 64 KUHP selaku pemberat buat memerangkap dokter residen anestesi itu dengan bahaya ganjaran bui maksimum 17 tahun.
Tetapi, kala esoknya hingga pada meja hijau majelis hukum, butuh dicermati apakah pelakon kesalahan tidak bermoral ini senantiasa diganjar ganjaran yang sanggup membagikan dampak kapok.
Karena, hasil analisa Regu Jurnalistik Informasi Setiap hari Kompas menciptakan kalau ganjaran bui maksimum kepada pelakon pemerkosaan tidak sering diaplikasikan.
Analisa kepada 199 masalah pemerkosaan yang diputus majelis hukum pada 2022 hingga dengan akhir Maret 2025 membuktikan kalau pada umumnya putusan bui yang dijatuhkan merupakan 87 bulan ataupun 7 tahun 3 bulan.
Cuma 8 dari 199 permasalahan yang membagikan putusan bui 12 tahun ataupun cocok nilai maksimum yang diamanatkan Artikel 285 Buku Hukum Hukum Kejahatan( KUHP). Ini membuktikan kalau putusan maksimum merupakan dispensasi, bukan Kerutinan.
“ Menginginkan putusan maksimum itu memanglah sulit. Adat hukum kita tidak sering menjatuhkan putusan maksimum,” tutur Ratna Batara Munti, badan Komisi Nasional Antikekerasan kepada Wanita( Komnas Wanita) dikala dihubungi pada Senin( 14 atau 4 atau 2025) dari Jakarta.
UU TPKS jadi impian Ratna supaya pelakon pemerkosaan dapat dihukum lebih berat sekalian mencegah serta memperbaiki hak korban dengan lebih bagus.
Dapat lebih berat
Ganjaran lebih berat yang diartikan Ratna bisa berhasil bila permasalahan pemerkosaan itu penuhi salah satu dari 15 suasana yang tertera pada Artikel 15 Bagian( 1). Dengan begitu, kejahatan bui ditambah sepertiganya.
Sebagian suasana yang diartikan antara lain: pemerkosaan dicoba dalam lingkup keluarga; dicoba oleh daya kesehatan ataupun pengajar; dicoba oleh administratur khalayak, donatur kegiatan, ataupun pimpinan; dicoba lebih dari satu kali ataupun oleh lebih dari satu orang; dan dicoba kepada anak, wanita berbadan dua, ataupun penyandang disabilitas.
Akumulasi ganjaran pula legal bila perbuatan kejahatan menyebabkan korban hadapi cedera raga ataupun intelektual berat, terjangkit penyakit meluas, hadapi kendala ataupun kehancuran guna pembiakan, ataupun apalagi tewas bumi.
” Lewat UU TPKS, sepatutnya hendak banyak( permasalahan pemerkosaan) yang dapat putusan maksimum. Sebab, pada umumnya pelakon kan orang yang terletak dalam posisi lebih besar dalam kedekatan daya. Nah, ini penuhi faktor buat menaikkan putusan sebesar sepertiga kali dari bahaya ganjaran yang dikenakan,” tutur Ratna.
Di bagian lain, usaha memperbaiki hak korban yang lebih bagus diamanatkan UU TPKS lewat restitusi ataupun pembayaran ubah kehilangan yang diberatkan pada pelakon atas kehilangan material atau imaterial yang dialami korban.
Apalagi, buat permasalahan yang diancam dengan kejahatan bui 4 tahun ataupun lebih, Artikel 16 UU TPKS mengharuskan juri memutuskan besaran restitusi, di sisi menjatuhkan kejahatan bui.” Berapa juga vonisnya, restitusi wajib terdapat buat korban serta jadi peranan dari pelakon,” tutur Ratna.
Berartinya pemakaian UU TPKS pula di informasikan penggerak wanita Yustina Fendritta. Beliau beranggapan, dalam cara investigasi permasalahan pemerkosaan, polisi telah sepatutnya mengenakan UU TPKS. Selaku ketentuan spesial serta terkini, UU ini membagikan proteksi global kepada korban serta berikan ganjaran berat pada pelakon.
Pernyataannya terpaut dengan permasalahan 3 pria di Bombana, Sulawesi Tenggara, yang sepanjang 3 tahun memerkosa seseorang anak semenjak umurnya sedang 11 tahun.
Saat ini, korban yang berumur 14 tahun telah berbadan dua 6 bulan. Polisi melaporkan hendak menggunakan Artikel 81 Bagian 1 Hukum No 17 Tahun 2016 mengenai Proteksi Anak. Pelakon diancam ganjaran 15 tahun bui serta kompensasi Rp 5 miliyar.
Yustina memperhitungkan, sepatutnya UU TPKS pula dipakai dalam permasalahan ini. Metode restitusi yang terdapat pada UU TPKS dapat digunakan, sekalian berikan ganjaran yang lebih berat.
” Dengan mengenakan Hukum TPKS, semenjak dini korban sudah memperoleh proteksi sampai restitusi. Pelakon, paling utama yang memiliki tanggung jawab buat mencegah korban, pula wajib memperoleh bonus ganjaran dari ganjaran penting,” jelasnya( Kompas. id, 26 atau 1 atau 2025).
Peleraian rugikan korban
Tidak hanya sungkan berikan putusan maksimum, adat hukum Indonesia sering menghasilkan cara peleraian antara pelakon serta korban pemerkosaan selaku alibi buat memudahkan ganjaran.
Hasil analisa Kompas menciptakan beberapa masalah, di mana juri menghasilkan perdamaian antara pelakon serta perwakilan korban selaku alibi buat memudahkan ganjaran.
Akibatnya penting, pada 2022, 3 permasalahan pemerkosaan cuma didiagnosa 3 tahun bui, seluruhnya mengaitkan cara perdamaian. Besaran putusan ini kurang dari separuh bahaya ganjaran bui maksimum Artikel 285 KUHP mengenai pemerkosaan yang menggapai 12 tahun bui.
Ini pula di dasar pada umumnya putusan ganjaran permasalahan pemerkosaan pada rentang waktu 2022–2025 yang dekat 7 tahun.
Salah satu ilustrasi merupakan masalah No 76 atau Pid. B atau 2022 atau PN Bjw yang ditangani Majelis hukum Negara Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur. Badan juri yang dipandu Nyoman Besar Ngurah Baik Artana memperhitungkan, terdapatnya perdamaian antara saksi korban serta tersangka selaku kondisi yang memudahkan.
Dalam sidang, terbongkar keluarga tersangka serta keluarga saksi korban melaksanakan perdamaian dengan cara adat. Perdamaian ini digapai dengan penyerahan seekor lembu serta seekor kambing oleh papa tersangka selaku wujud kompensasi cocok dengan permohonan keluarga korban yang setelah itu menyambut penanganan itu.
Ratna Batara Munti memandang, sedang terdapat pemikiran kokoh di warga kalau perdamaian lebih gampang serta kilat dibanding dengan cara hukum yang dikira berlarut serta mahal. Sementara itu, pendekatan rukun sejenis ini malah melalaikan hak- hak korban, paling utama penyembuhan intelektual yang cuma dapat didapat lewat cara hukum yang berakhir.
” Kebudayaan hukum kita sedang menyangka perdamaian itu selaku alternatif yang menuntaskan, sementara itu tidak,” tutur Ratna.
Beliau meningkatkan, banyak warga galat menyangka kalau bila permasalahan diproses hukum, korban tidak hendak mendapatkan ganti rugi. Sementara itu, lewat UU TPKS, restitusi malah dimungkinkan. Perihal ini butuh lalu disosialisasikan supaya korban tidak dibebani oleh penanganan rukun yang tidak menjamin hak- haknya.
Lebih jauh, Ratna menegaskan kalau pelakon kekerasan intim sering mempunyai kedekatan daya kepada korban, semacam pimpinan, guru, ataupun orang berumur. Sebab itu, korban serta keluarganya butuh pendampingan supaya tidak terintimidasi ataupun goyah menuntaskan permasalahan dengan cara rukun.
Perihal ini menampilkan kalau sistem hukum kita sedang kurang mencukupi dalam membagikan atensi yang pantas kepada penyembuhan korban kekerasan intim.
Walaupun sedang mengalami bermacam tantangan, UU TPKS ditaksir selaku perkembangan berarti buat membagikan penguatan hak pada korban. Hukum ini berikan akses yang lebih besar pada korban buat mendapatkan pendampingan serta penyembuhan, semacam dituturkan guru Sekolah Besar Ilmu Hukum Adhyaksa, Dio Ashar Wicaksana.
Kenyataan di alun- alun membuktikan sedang sedikitnya atensi kepada hak- hak korban, paling utama dalam perihal penyembuhan kehilangan lewat restitusi. Dio menerangi, bersumber pada riset Indonesia Judicial Research Society tahun 2024, amat sedikit tetapan majelis hukum yang memikirkan restitusi untuk korban.
” Perihal ini menampilkan kalau sistem hukum kita sedang kurang mencukupi dalam membagikan atensi yang pantas kepada penyembuhan korban kekerasan intim,” tulisnya dalam postingan Pandangan yang keluar di Kompas, 8 Maret 2025.
UU TPKS belum dimanfaatkan
Walaupun telah diundangkan pada 9 Mei 2022, UU TPKS sedang tidak sering diadopsi petugas selaku instrumen penguatan hukum kepada permasalahan kekerasan intim di Indonesia.
Ini tecermin pada hasil analisa Kompas kepada 167 akta tetapan masalah dari Direktori Tetapan Dewan Agung sepanjang rentang waktu 2022 sampai 25 Maret 2025. Semenjak diundangkannya UU TPKS, cuma 2 masalah yang mempraktikkan UU TPKS.
Bagi Ratna, ini jadi fakta adat hukum Indonesia yang malah kesimpulannya mudarat korban.
” Petugas bisa jadi dapat diucap kurang sensitif alhasil tidak hirau buat betul- betul memahami UU TPKS serta berupaya mempraktikkan. Jadi, betul sedang business as usual,” pungkasnya.
Saat ini, khalayak berambisi petugas penegak hukum betul- betul melempangkan kesamarataan, tidak cuma dalam permasalahan viral Priguna, namun pula dalam ribuan masalah lain yang bebas dari pancaran, untuk kesamarataan serta proteksi korban.
Permasalahan kekerasan intim balik mencuat ke ruang khalayak, kali ini sebab tetapan majelis hukum yang ditaksir tidak membela pada korban. Seseorang pelakon pemerkosaan kepada anak didiagnosa enteng oleh badan juri, mengakibatkan amarah warga besar. Putusan ini menaikkan catatan jauh lemahnya proteksi hukum kepada korban kekerasan intim di Indonesia, paling utama wanita serta anak.
Pada dini Juni 2025, Majelis hukum Negara X menjatuhkan putusan 4 tahun bui pada seseorang laki- laki berumur 36 tahun yang teruji melaksanakan pemerkosaan kepada anak muda berumur 15 tahun. Beskal lebih dahulu menuntut ganjaran 10 tahun bui, tetapi juri menyudahi buat kurangi ganjaran dengan alibi pelakon dikira” menyesal”,” berkomitmen tidak mengulangi”, dan” sedang jadi tulang punggung keluarga”. Tidak terdapat estimasi sungguh- sungguh kepada guncangan raga serta intelektual korban yang berkelanjutan.
Respon Khalayak serta Kecaman
Tetapan ini langsung memanen kecaman. Penggerak wanita, Badan Dorongan Hukum, dan warganet melantamkan kesedihan mendalam atas adat hukum yang nampak lebih mencegah pelakon dibandingkan korban. Tagar semacam#KeadilanUntukKorban serta#HukumBerpihakPadaKorban jadi viral di alat sosial.
“ Ini bukan semata- mata pertanyaan berat ataupun entengnya ganjaran, tetapi pertanyaan catatan apa yang di informasikan oleh majelis hukum pada warga,” tutur Nani Nurrachman, Ketua LSM Proteksi Wanita serta Anak.“ Putusan enteng berikan tanda kalau kekerasan intim dapat dimaafkan, kalau pelakon dapat bersembunyi di balik alibi sosial, sedangkan korban didiamkan bergulat sendiri dengan guncangan sama tua hidup.”
Adat Patriarki serta Kesenjangan Kuasa
Kejadian putusan enteng dalam permasalahan kekerasan intim bukan perihal terkini di Indonesia. Dalam banyak permasalahan, juri memakai pertimbangan- pertimbangan yang mengarah memojokkan korban, semacam mempersoalkan busana korban, durasi peristiwa, ataupun ikatan antara korban serta pelakon. Perihal ini membuktikan kalau sistem hukum sedang dipengaruhi oleh adat patriarki yang mengakar.
Bagi informasi Komnas Wanita, selama tahun 2024, terdapat lebih dari 4. 500 informasi permasalahan kekerasan intim yang masuk, tetapi cuma beberapa kecil yang sukses masuk ke ranah majelis hukum, serta lebih sedikit lagi yang selesai dengan ganjaran setimpal.
Dosen hukum kejahatan dari Universitas Gadjah Mada, Dokter. Farah Gadis, memperhitungkan kalau kasus terdapat pada 2 perihal penting: paradigma petugas penegak hukum serta kesenjangan kedekatan daya.“ Juri, beskal, serta polisi sedang kerap bawa nilai- nilai individu ke dalam cara penguatan hukum, ternyata asli berpedoman pada prinsip kesamarataan,” tuturnya.“ Kita kerap memandang deskripsi‘ pelakon orang bagus’ jadi alibi penurunan ganjaran, tanpa menaruh korban selaku pusat kesamarataan.”
Minimnya Perspektif Korban
Dalam cara hukum di Indonesia, korban kekerasan intim sedang kerap dikira selaku subjek masalah, bukan poin yang wajib dilindungi hak- haknya. Banyak korban yang sungkan melapor sebab khawatir disalahkan, diintimidasi, ataupun dipermalukan di ruang khalayak serta sidang.
Dalam permasalahan yang terjalin bulan ini, korban luang hadapi reviktimisasi dikala ditilik di kepolisian. Pihak keluarga berterus terang kalau korban ditanyai kesekian kali dengan bunyi menginvestigasi, buatnya balik hadapi titik berat psikologis. Tidak terdapat ajudan intelektual yang diadakan sepanjang pengecekan dini.
“ Sistem ini belum sensitif kepada keinginan korban,” ucap Novi Cantik, psikolog klinis yang aktif mendampingi korban kekerasan intim.“ Korban kekerasan intim membutuhkan proteksi spesial, tercantum dari cara hukum itu sendiri. Sayangnya, malah mereka kerapkali merasa diserbu balik oleh sistem yang sepatutnya mencegah mereka.”
RUU PKS serta Perlunya Pembaruan Hukum
Sampai saat ini, walaupun Hukum Perbuatan Kejahatan Kekerasan Intim( UU TPKS) sudah disahkan pada 2022, implementasinya sedang jauh dari sempurna. Banyak petugas penegak hukum belum menguasai dengan cara menyeluruh akar hukum ini, alhasil belum seluruhnya dipakai dalam menanggulangi permasalahan kekerasan intim.
Bagi memo Institute for Criminal Justice Reform( ICJR), terdapat kesenjangan besar antara antusias hukum yang liberal serta aplikasi hukum di alun- alun yang konvensional.“ Vonis- vonis enteng ini membuktikan kalau pembaruan hukum bukan semata- mata pertanyaan produk hukum, tetapi pula pertanyaan pembaruan psikologis serta etika para penegak hukum,” ucap periset ICJR, Kuat Prasetyo.
Pembaruan itu melingkupi penataran pembibitan petugas hukum mengenai perspektif korban, pembuatan majelis hukum spesial kekerasan intim, sampai perbaikan prinsip pemidanaan supaya tidak lagi berpihak pelakon.
Impian buat Era Depan
Permasalahan putusan enteng kepada pemerkosa anak muda ini wajib jadi titik balik buat menyusun balik sistem hukum kita. Tidak lumayan cuma memercayakan respon khalayak sedetik. Dibutuhkan usaha analitis serta tidak berubah- ubah buat melempangkan kesamarataan, paling utama untuk mereka yang sangat rentan.
“ Tiap putusan merupakan bayangan angka suatu warga. Bila putusan itu tidak membela pada korban, berarti kita belum betul- betul jadi bangsa yang seimbang,” jelas Nani Nurrachman.
Di tengah melonjaknya pemahaman warga mengenai berartinya kesamarataan kelamin serta proteksi kepada korban kekerasan intim, tetapan majelis hukum yang tidak selaras dengan antusias itu cuma hendak memperparah keyakinan khalayak kepada sistem hukum.
Saat ini, impian bertumpu pada desakan warga awam, badan proteksi korban, serta kreator kebijaksanaan buat mendesak pembaruan yang lebih sungguh- sungguh. Karena, kesamarataan asli tidak bisa ditunda, terlebih ditawar.
Permasalahan kekerasan intim balik mencuat ke ruang khalayak, kali ini sebab tetapan majelis hukum yang ditaksir tidak membela pada korban. Seseorang pelakon pemerkosaan kepada anak didiagnosa enteng oleh badan juri, mengakibatkan amarah warga besar. Putusan ini menaikkan catatan jauh lemahnya proteksi hukum kepada korban kekerasan intim di Indonesia, paling utama wanita serta anak.
Pada dini Juni 2025, Majelis hukum Negara X menjatuhkan putusan 4 tahun bui pada seseorang laki- laki berumur 36 tahun yang teruji melaksanakan pemerkosaan kepada anak muda berumur 15 tahun. Beskal lebih dahulu menuntut ganjaran 10 tahun bui, tetapi juri menyudahi buat kurangi ganjaran dengan alibi pelakon dikira” menyesal”,” berkomitmen tidak mengulangi”, dan” sedang jadi tulang punggung keluarga”. Tidak terdapat estimasi sungguh- sungguh kepada guncangan raga serta intelektual korban yang berkelanjutan.
Respon Khalayak serta Kecaman
Tetapan ini langsung memanen kecaman. Penggerak wanita, Badan Dorongan Hukum, dan warganet melantamkan kesedihan mendalam atas adat hukum yang nampak lebih mencegah pelakon dibandingkan korban. Tagar semacam#KeadilanUntukKorban serta#HukumBerpihakPadaKorban jadi viral di alat sosial.
“ Ini bukan semata- mata pertanyaan berat ataupun entengnya ganjaran, tetapi pertanyaan catatan apa yang di informasikan oleh majelis hukum pada warga,” tutur Nani Nurrachman, Ketua LSM Proteksi Wanita serta Anak.“ Putusan enteng berikan tanda kalau kekerasan intim dapat dimaafkan, kalau pelakon dapat bersembunyi di balik alibi sosial, sedangkan korban didiamkan bergulat sendiri dengan guncangan sama tua hidup.”
Adat Patriarki serta Kesenjangan Kuasa
Kejadian putusan enteng dalam permasalahan kekerasan intim bukan perihal terkini di Indonesia. Dalam banyak permasalahan, juri memakai pertimbangan- pertimbangan yang mengarah memojokkan korban, semacam mempersoalkan busana korban, durasi peristiwa, ataupun ikatan antara korban serta pelakon. Perihal ini membuktikan kalau sistem hukum sedang dipengaruhi oleh adat patriarki yang mengakar.
Bagi informasi Komnas Wanita, selama tahun 2024, terdapat lebih dari 4. 500 informasi permasalahan kekerasan intim yang masuk, tetapi cuma beberapa kecil yang sukses masuk ke ranah majelis hukum, serta lebih sedikit lagi yang selesai dengan ganjaran setimpal.
Dosen hukum kejahatan dari Universitas Gadjah Mada, Dokter. Farah Gadis, memperhitungkan kalau kasus terdapat pada 2 perihal penting: paradigma petugas penegak hukum serta kesenjangan kedekatan daya.“ Juri, beskal, serta polisi sedang kerap bawa nilai- nilai individu ke dalam cara penguatan hukum, ternyata asli berpedoman pada prinsip kesamarataan,” tuturnya.“ Kita kerap memandang deskripsi‘ pelakon orang bagus’ jadi alibi penurunan ganjaran, tanpa menaruh korban selaku pusat kesamarataan.”
Minimnya Perspektif Korban
Dalam cara hukum di Indonesia, korban kekerasan intim sedang kerap dikira selaku subjek masalah, bukan poin yang wajib dilindungi hak- haknya. Banyak korban yang sungkan melapor sebab khawatir disalahkan, diintimidasi, ataupun dipermalukan di ruang khalayak serta sidang.
Dalam permasalahan yang terjalin bulan ini, korban luang hadapi reviktimisasi dikala ditilik di kepolisian. Pihak keluarga berterus terang kalau korban ditanyai kesekian kali dengan bunyi menginvestigasi, buatnya balik hadapi titik berat psikologis. Tidak terdapat ajudan intelektual yang diadakan sepanjang pengecekan dini.
“ Sistem ini belum sensitif kepada keinginan korban,” ucap Novi Cantik, psikolog klinis yang aktif mendampingi korban kekerasan intim.“ Korban kekerasan intim membutuhkan proteksi spesial, tercantum dari cara hukum itu sendiri. Sayangnya, malah mereka kerapkali merasa diserbu balik oleh sistem yang sepatutnya mencegah mereka.”
RUU PKS serta Perlunya Pembaruan Hukum
Sampai saat ini, walaupun Hukum Perbuatan Kejahatan Kekerasan Intim( UU TPKS) sudah disahkan pada 2022, implementasinya sedang jauh dari sempurna. Banyak petugas penegak hukum belum menguasai dengan cara menyeluruh akar hukum ini, alhasil belum seluruhnya dipakai dalam menanggulangi permasalahan kekerasan intim.
Bagi memo Institute for Criminal Justice Reform( ICJR), terdapat kesenjangan besar antara antusias hukum yang liberal serta aplikasi hukum di alun- alun yang konvensional.“ Vonis- vonis enteng ini membuktikan kalau pembaruan hukum bukan semata- mata pertanyaan produk hukum, tetapi pula pertanyaan pembaruan psikologis serta etika para penegak hukum,” ucap periset ICJR, Kuat Prasetyo.
Pembaruan itu melingkupi penataran pembibitan petugas hukum mengenai perspektif korban, pembuatan majelis hukum spesial kekerasan intim, sampai perbaikan prinsip pemidanaan supaya tidak lagi berpihak pelakon.
Impian buat Era Depan
Permasalahan putusan enteng kepada pemerkosa anak muda ini wajib jadi titik balik buat menyusun balik sistem hukum kita. Tidak lumayan cuma memercayakan respon khalayak sedetik. Dibutuhkan usaha analitis serta tidak berubah- ubah buat melempangkan kesamarataan, paling utama untuk mereka yang sangat rentan.
“ Tiap putusan merupakan bayangan angka suatu warga. Bila putusan itu tidak membela pada korban, berarti kita belum betul- betul jadi bangsa yang seimbang,” jelas Nani Nurrachman.
Di tengah melonjaknya pemahaman warga mengenai berartinya kesamarataan kelamin serta proteksi kepada korban kekerasan intim, tetapan majelis hukum yang tidak selaras dengan antusias itu cuma hendak memperparah keyakinan khalayak kepada sistem hukum.
Saat ini, impian bertumpu pada desakan warga awam, badan proteksi korban, serta kreator kebijaksanaan buat mendesak pembaruan yang lebih sungguh- sungguh. Karena, kesamarataan asli tidak bisa ditunda, terlebih ditawar.
Post Comment